Minggu, 12 Juni 2011

INTEGRASI MEDIASI DAN HAKAMAIN UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENYELESAIAN KASUS PERCERAIAN


BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sunnatullah yang dilakukan oleh manusia untuk dapat menyalurkan nafsu biologisnya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Pekawinan juga merupakan sarana untuk menjaga kelangsungan generasi penerus serta alat unutk untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebagai perbuatan yang dianjurkan, maka islam telah memberikan aturan atau tata tertib perkawinan yang lengkap, sehingga jika dipedomani dan dipertahankan anggota-anggota masyarakat serta para pemuka masyarakat adat atau pemuka agama, maka akan tercipta rumah tangga yang sakinah, mawaddah , dan warahmah.[1]
            Sangat banyak rumah tangga yang hancur dan berakhir yang disebabkan oleh suatu factor tertentu, sehingga mekanisme penyelesaian atau bahkan pencegahan yang efektif sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan terjadinya kehancuran rumah tangga tersebut. Dalam hukum islam, sebelum sampai pada tahap perceraian, ada salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam rumah tangga yang dikenal dengan Hakamain.
            Hakamain adalah upaya penyelesaian sengketa rumah tangga, yaitu dengan cara mengutus dua orang yang ahli dalam menyelesaikan perkara yang tengah dihadapi oleh salah satu keluarnya tersebut biasanya diputuskan dalam musyawarah keluarga baik secara langsung ataupun tidak, dan mereka ini mewakili dari masing-masing pihak suami dan isteri. Guna untuk mencari pnyelesaian masalah yang sangat efektif dan tidak merugikan dari masing-masing baik suami ataupun isteri.
      Istilah hakamain sebetulnya berasal dari Al-Qur’an yang ada pada surat An-Nisa’ ayat 35 Allah Swt. Berfiraman.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz

Artinta :  “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa’ 35

            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Hakamain adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami dan isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan antara suami dan istri untuk mendamaikan keduanya.
            Secara termenologi hakamain menurut Slamet Abidin dkk bahwa Hakamain artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara suami istri tersebut.
            Sedangkan menurut M.Yahya Harahap, dalam bukunya sebagai berikut, “Noel J. Coulson memberi sinonim„arbitor sebagai kata yang sepadan dengan hakamain. Begitu juga Murtadha Mutahhari mengemukakan padanan Hakamain dengan kata „
            Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006, istilah Hakamain dipakai di antaranya dalam pasal 72 ayat (2) sebagai berikut, “ Hakamain  adalah  orang  yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan  terhadap syiqaq”. 
            Bila kita ingin membandingkan antara hakamain dalam pengertian ayat Al-Qur’an di atas dengan Hakamain dalam pengertian UU Nomor 7 Tahun 1989 terlihat kesamaan arti antara keduanya. Akan tetapi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Hakamain diperluas dengan atau pihak lain. Pihak lain inilah yang bisa kita interpretasikan sebagai Hakamain min Jihat al- Hakim atau mediator dalam hukum positif.
            Sebagai hakamain yang dipilih mewakil antara pihak suami dan isteri tersebut hendaklah bersikaf netral serta tidak boleh mempengaruhi atau mendorong para pihak untuk bercerai. Karena hakamain hanyalah sebagai perantara untuk memperlancar komunikasi dan koordinasi antara suami isteri yang terganggu akibat persengketaan/ perselisihan yang sedang dihadapi. [2]
            Dalam penyelesaian perselisihan dengan cara hakamain dalam bagian pidato Umar bin al Khatab mengenai penyelesaian perkara percerain oleh seorang hakamain, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai Al-sulhu khairun, sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Sehingga dengan demikian suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing sebagai langkah menindak lanjuti masalah tersebut.
Sedangkan teknis penyelesaian perkara atau cara kerja seoarang hakamaian secara tidak langsung tidak diatur dalam hukum islam secara rinci, karena hakamain hanya bisa melakukan hukum normatif yang tidak diatur dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Karena dalam sistem hukum Islam melalui non litigasi memiliki konsep tersendiri yaitu as-sulh atau seluruh sengketa perdata (mua’ammalah), sengketa keluarga (ahwal asy-syakhsiyah), dan sengketa lainnya yang memiliki nilai ibadah dalam penerapannya. [3]
Kedudukan hakamain para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang mengangkat dan mengutus hakamain atau mediator bila kita hubungkan dengan hukum positif. Dalam mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa berdasarkan Zhahir ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35 seperti yang sudah dituliskan diatas bahwa hakamain atau mediator diangkat oleh pihak keluarga suami atau isteri, dan bukan suami atau isteri secara langsung. [4]
Pandangan ini berbeda dengan pandangan beberapa ulama kotemporer seperti Wahbah Zuhaily dan Sayyid Sabiq bahwa hakamain atau mediator dapat oleh suami isteri yang setujui oleh mereka sebagai penegah yang akan membantu mencari jalan keluar dari pada masalah yang mereka hadapi dan ini telah diadopsi dalam hukum positif.[5] Sebagaimana yang diterapkan oleh peraturan yang dijalankan dalam peradilan sebagai hukum acara perdata yang terdapat dalam perturan mediasi sebelum pemeriksaan perkara dimana pengadilan harus mengadakan/mengajukan mediasi dengan menunjuk mediator baik yang ada dalam peradilan atau bahkan yang bersal dari para pihak tersebut sesuai dengan pasal 6 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2003  disebutkan bahwa mediator pada setiap pengadilan adalah berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah mendapat sertfikat mediator.[6]
Maka dari uraian diatas menurut analisis penulis yang perlu diketahui bahwa pengangkatan hakamain atau hakim mediator adalah sebuah kewajiban hanya lagi hakamain yang diadopsi dari hukum islam berasal dari pada keluarga, karena uapaya pencapaian perdamaian terjadi diluar pengadilan dan mungkin sebelum perkara tersebut diangkat ataupun sebelum didaftarkan perkaranya kepengadilan. Sedangakan mediator dapat diadakan atau ditunjuk oleh pengadilan, itu terjadi setelah perkara tersebut diangkat atau didaftarkan kepengadilan baru diadakan mediasi dengan menunjuk hakim mediator.
Dalam kaitannya hukum positif sebelum terjadinya perceraian suami isteri yang mengalami percekcokan dalam keluarga tersebut maka hal yang pertama ditawarkan sebelum pemeriksaan perkara yang belum diketahui apa permasahan terjadinya persengketaan dalam keluarga tersebut, maka hal utama yang dirawarkan oleh hakim dalam pengadilan adalah upaya perdamaian yang disebut dengan mediasi.
Mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Selain itu Mediasi ini adalah salah satu alternatif penyelesaian sengkketa diluar pengadilan yang wajib dilaksanakan oleh hakim pada saat pembukaan siding pertama.[7] Mediasi memiliki ruang lingkup utama berupa kasus privat/perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, dan keluarga/ perceraian dan perdata lainnya yang dapat diselesaikan lewat jalur Mediasi, namun dalam Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah lebih cendrung kepada sengketa (Mu’ammalah Al-Ahwal As-Syakhsyiah).[8]
 Adapun cara kerja mediasi itu bisa dilihat pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri kedua belah pihak, maka pada saat itu hakim menjelaskan tentang keharusan para pihak untuk menempuh proses mediasi dan ketidak hadiran turut tergugat dalam perkara tersebut tidak menghalangi pelaksanaan mediasi hal sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2.
Namun pada kenyataannya Mediasi dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah secara nasional selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, berjumlah 217.084, 11.327 perkara yang dicabut. Ini berarti hanya 5,2% yang berhasil damai atau didamaikan oleh hakim atau hakim mediator itu sendiri .[9] Hal ini menunjukkan keberhasilan mediasi atau efektifitas penerapan mediasi dalam pengadilan belum begitu sempurna, maka dari itu perlu adanya sebuah kajian khusus tentang penerapan mediasi yang bisa membawa perubahan di pengadilan.
Mediasi dan hakamain adalah dua istilah yang berbeda dan fungsi nya juga berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama dalam suatu penyelesaian sengketa
Perbedaan mediasi dan hakamain ialah terletak pada kasus perkara yang akan diselesaikan, sekalipun penyelesaian sengketa yang akan di mediasi masih berada dalam kompetensi/kewenangan lembaga pengadilan tersebut.
Mediasi wajib dujalankan/dilakukan dalam semua sengketa perdata (Mua’mmalah Ahwal Asy-Syakhsiyah) termasuk didalamnya kasus perceraian, yang diajukan kepengadilan agama dan mahkamah syari’ah khususnya di Aceh, sedangkan Hakamain hanya dapat dijalankan atau dilakukan dalam kasus perceraian. Artinya pemberlakukan mediasi adalah secara umum dan hakamain adalah secara khusus pada kasus perceraian saja dan inilah yang menjadi kelebihan dan kekurangan dalam kedua istilah hukum tersebut.
Tetapi bagaimana jika Mediasi dan Hakamain sekaligus dilaksanakan atau jalankan untuk mencapai suatu kesepakatan damai khususnya dalam kasus perceraian? dan inilah yang menjadi kajian penulis yang mudah-mudahan akan dibahas dalam skripsi ni.
Maka dari semua uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang mediasi dan hakamain dalam penerapannya dipengadilan agama dan mahkamah Syari’ah ( Aceh, dalam kasus perceraian yang nantinya bisa untuk meningkatkan penyelesaian perkara dipengadilan.
1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan urain di atas, maka diperoleh pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu :
1.      Bagaimana konsep Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian?
2.      Apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing konsep Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian?
3.      Bagaimana integrasi konsep Mediasi dan Hakamain untuk lebih meningkatkan efektifitas penyelesaian kasus perceraian?
1.3.  Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pandangan Mediasi dan Hakamin dalam penyelesaian  kasus-kasus perceraian.
2.      Untuk mengetahuhi kelebihan dan kekurangan penerapan Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian
3.      Untuk mengetahui integrasi konsep Mediasi dan Hakamain untuk lebih meningkatkan efektifitas penyelesaian kasus perceraian.
1.5.  Penjelasan istilah
1.4.1. Integrasi Konsep
1.4.2. Mediasi
1.4.3. Hakamain
1.4.4. Efektifitas
1.4.5. Kasus Perceraian
Ad.. 1.4.1. Integrasi Konsep
Integrasi menurut Sudarsono adalah suatu perubahan sebagai suatu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[10]
Sedangkan konsep Konsep adalah rencana yang dituangkan dalam kertas, perencanaan, rancangan dan sebagainya. [11]
Dari dua kalimat diatas dapat dismpulkan integrasi konsep yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah suatu rancangan gabungan antara konsep pelaksanaa mediasi dan hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian yang digunakan oleh hakim atau mediator atau juru damai lainnya dalam menyelesaikan kasus perceraian.
Ad. 1.4.2 Mediasi
Mediasi adalah salah satu kata yang berawal dari “ Media” yang berarti adalah 1. Alat. 2. Sarana Komunikasi seperti koran, majalah, radio, televise, film, poster dan spaduk. Namun apabila di tambah degang kata “ si” maka artinya berorientasi kepada tindakan nyata yang langsung dilakukan oleh seseorang sebagai pihak luar atau ketiga yang disebut dengan mediator.[12] Sedangkan mediasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah” hal yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah seperti dalam proses penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan, penengahan, proses munculnya ide-ide ransangan secara tidak langsung melalui ide-ide lanjutan yang saling berhubungan, yang mungkin dalam kesadaran yang jelas.[13]   
Selain itu menurut Abdul Manan dalam bukunya Mediasi adalah upaya penyelesaikan sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikaf netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilisator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat  untuk mencapai mufakat.[14]
Ad.1.4. 3. Hakamain
Kata dasar hakamain adalah “Hakam” artinya orang yang berhak mewakili urusan seseorang.[15] Sedangkan hakamain menurut Slamet Abidin adalah orang yang diutus dari dua belah pihak suami atau isteri yang ditetapkan oleh majelis hakim dalam suatu sengketa keluarga atau dalam kasus perceraian untuk memfasilitasi atau menjadi penengah diantara para pihak yang bersengketa.
            Ada termenologi hakamain yang senada dengan pengertian di atas yang di rasa perlu untuk di tulis dalam skripsi ini yaitu mbahwa hakamain artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri untuk mencari solusi atas terjadinya perselisihan antara suami isteri , tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara suami istri tersebut.
Ad. 1.4. 4. Efektifitas
Dalam kamus , Kamus Ilmiah Populer disebutkan bahwa efektifitas adalah ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan.[16] Kata dasar efektifitas adalah efektif yang berarti efeknya, akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab, dapat membawa hasil, berhasil tentang usaha, tindakan.[17]
Jadi Efektifitas yang dimaksud dalam skripsi ini adalah suatu penerapan hukum mediasi dan hakamain dalam kasus perceraian yang bisa mempengaruhi para-para pihak yang berperkara hingga akhirnya mereka berdamai atau mengakhiri sengketa dengan cara mediasi dan hakamain atau bisa juga dikatakan tingkat keberhasilan hukum mediasi dan hakamain baik secara materil ataupun secara formil yang dilaksanakan oleh hakim, mediator atau wali para pihak yang berperkara.[18]
Ad.1.4.5. Kasus Perceraian
Kasus adalah masalah, peristiwa ataun kejadian (biasanya tentang pelanggaran hukum)[19]
Cerai adalah putus ikatan hubungan rumah tangga (suami istri: lepas, pisah, dan sebagainya.[20]
Kasus adalah soal, perkara, keadaan kebenarnya suatu urusan atau perkara, keadaan atau kondisi kasus yang berhubungan dengan seseorang atau satu hal. Baik yang bersifat perkara perdata atau pidana atau kasus lainnya.[21]
            Sedangkan Perceraian adalah suatu kata yang berasal dari kata “ Cerai” yaitu pisah, terhambat, putus, runtuh, dan sebagainya. Ketiaka terjadi perceraian, maka kehidupan isteri atau suami tidak cocok lagi atau tidak bisa hidup bersama yang disebabkan oleh suatu faktor yang melatar belakangi terjadinya masalah tersebut.
1.6.  Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesui dengan permasalahan yang akan dibahas. Dalam pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan metode deskriptif komparatif dengan mengadakan perbandingan aturan hukum positif dan hukum Islam yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan study pustaka (library reaserch) yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku, kitab-kitab, jurnal, karya ilmiah yang berkaitan dengan topik pembahasan serta bahan pendukung lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah yang akan dibahas kemudian dikategorikan sesuai dengan data yang diperlukan untuk menuntaskan karya ilmiah ini sehingga mendapatkan  hasil yang valid dan sesuai apa adanya.
Dalam penyusunan dan penulisan berpedoman kepada buku pedoman penulisan karya ilmiah mahasiswa dan pedoman transliterasi Arab latin yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2001. Dan adapun kutipan yang penulis ambil dari Al-Qur’an adalah Departemen Agama RI Kitab Suci Al-Qur’an.Yayasan Penyelenggara Peterjemah Al-Qur’an. Jakarta, 1981/1982.
Adapun data-data primer sebagai bahan pendukung dan pelengkap karya tulis ilmiah ini antara lain “ Mediasi dalam perspektif Hukum Syari’ah , Hukum Adat, dan Hukum Nasional, karangan Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA “Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Per Undang-Undangan Hukum Adat Hukum Agama, karya Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, “Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan. Undang-undang Nomor.1 Tahun1974”, karangan Prof.Dr.Hazairin “Peradilan Agama di Indonesia, Dilingkungan Peradilan Agama, karangan Drs. Cik Hasan Bisri, MS “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Karangan Drs.M. Fauzan, SH,MM. Serta sumber-sumber lain yang mendukung ke ilmiahan penulisan skripsi ini.
1.6.  Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan karya ilmiah ini, maka pembahasan ini penulis membagi dalam empat  bab, yang meliputi
1.5.BAB SATU Pendahuluan.
1.6.BAB DUA Pembahasan
1.7.BAB TIGA Analisa Perbandingan hukum Positif dan hukum Islam
1.8.BAB EMPAT Penutup
Kemudian tiap-tiap bab terdiri beberapa sub yang dibahas dalam bab tersebut
Bab pertama : Merupakan bab pendahuluan yang membahas tentang, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian Pustaka, Metode Penelitian , dan Sistematika Pembahasan
Bab kedua : Membahas tentang, Konsep Mediasi Dalam Hukum Positif, Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi, Bentuk-Bentuk Mediasi Dalam Kasus Perceraian, Tolak Ukur Keberhasilan Mediasi Dalam Kasus Perceraian, Konsep Hakamain Dalam Hukum Islam, Pengertian Dan Dasar Hukum Hakamain, Bentuk-Bentuk Hakamain Dalam Kasus Perceraian, dan Tolak Ukur Keberhasilan Hakamaian Dalam Kasus Perceraian.
Bab ketiga : Membahas tentang Peran Hakim Dan Mediator Dalam Penyelesain Kasus Perceraian, Kelebihan Dan Kekurangan Mediasi Dan Hakamain Dalam  Penyelesaian Kasus Percerain, Efektifitas Penerapan Mediasi Dan Hakamain Dalam Kasus Perceraian, dan Perpaduan Antara Konsep Mediasi Dan Hakamain Dalam Kasus Perceraian.
Bab keempat : Merupakan akhir dari semua pembahasan yang meliputi kesimpulan dan saran.















[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.1.

[2] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pustaka Karini, Jakarta, 1997, hal. 270.

[3] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: kencana 2009). Hlm. 2004

[4] Ibid. Hlm. 187

[5] Ibid. Hlm. 187

[6] Ibid. Hlm. 72

[7] Ibid. Hlm. 24

[8] Petunjuk Teknis Pelaksanaan  Mediasi Mahkamah Syari’ah Dalam Wilayah Hukum Mahkamah Syari’ah Aceh, Tahun 2010

[9] Himpunan Statistik Perkara Peradilan Agama, Tahun 2007, Ditjen Badilag MA-RI, 2007



[10] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2005), hlm. 141

[11] Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ,Hlm. 323

[12] Tim penyusun, Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke tiga, 1999), hlm. 128

[13] Tim Pusataka Phoenik,, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Pheonik, 2007), hlm. 575


[14] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 177

[15]   Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 156.

[16] Ibid., hlm. 128.


[17] Desi Anwar, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Surabaya: Amelia, 2002), hlm. 108.

[18] Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 89.

[19] Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,  2006), hlm. 292. 

[20] Ibid., hlm. 121.

[21] Tim Penyusun, Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka edisi ke tiga, 1999), hal. 395

LANDASAN TEORISTIS KONSEP MEDIASI DAN HAKAMAIN UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENYELESAIAN KASUS PERCERAIAN


BAB DUA
LANDASAN TEORITIS
2.1.  Konsep Mediasi Dalam Hukum Positif
            2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi
            Mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa dengan cara bermusyawarah, secara kekeluargaan dengan bantuan pihak ketiga yang selanjutnya disebut dengan mediator. Upaya mediasi ini ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, kemudian ditengahi atau dikendalikan oleh mediator yang berperan sebagai pendamping dan penasehat dalam upaya penyelesaian sengketa secara adil, damai, kekeluargaan dan dapat diterima semua pihak bersengketa.
            Mediasi secara bahasa berasal dari bahasa latin “Mediare” yang berarti berada ditengah. Makana ini menunjuk kepada mediator yang berperan dalam menangani dan menyelesaikan sengketa para pihak-pihak yang berengketa. Dalam hal ini mediator harus berada pada posisi netral, adil, dan dipercaya dari pihak-pihak yang bersegketa.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Mediasi berarti pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. [2]
Mediasi secara terminologi, menurut Said Faisal, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinir proses penyelesaian sengketa. Sedangkan menurut Garry Goopaster mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.[3]
Kedua pengertian mediasi di atas dapat dipahami bahwa mediasi merupakan bantuan atau bimbingan dari pihak luar (bukan pihak yang bersengketa) untuk merumuskan langkah-langkah sebagai solusi  dan membuat jalan keluar dan keputusan damai antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam hal ini peran mediator yang netral,  adil dan terpercaya sangat menentukan sukses tidaknya upaya mediasi yang ditempuh.
Proses mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian sangatlah dibutuhkan, karena bentuk penyelesaian sengketa dengan cara bermediasi dapat ditempuh baik di dalam peradilan maupun di luar pengadilan, dengan cepat, adil, biaya murah tetapi bukan murahan, damai dan tentunya semua pihak-pihak yang bersengketa merasa tidak dirugikan. Dalam perselisihan kasus perdata kedudukan mediasi tersebut wajib dilakukan, itu artinya jika ada perkara perdata yang tidak melalui proses mediasi maka perkara tersebut dapat batal demi hukum.
Adapun dasar hukum mediasi adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Prinsip dari penyelesaian mediasi dapat menyelesaikan secara adil yang dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa. Substansi lain yang diamanatkan oleh PMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah mengenai mediasi yang wajib dilaksanakan dalam menangani setiap perkara oleh Majelis Hakim termsuk di dalamnya perkara-perkara Peradilan Agama. Proses mediasi dalam peradilan adalah pasal 2 PMA Nomor 1 Tahun 2008, yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum, jika tidak melalui proses mediasi. Berikut bunyinya:
Pasal 2 [4]
Ruang lingkup dan kekuatan hukum berlakunya  peraturan Mahkamah Agung
1.      Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan.
2.      Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini.
3.      Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
4.      Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menybutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebut nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Berdasarkan dasar hukum di atas, maka dapat dipahami bawa proses mediasi juga berlaku dalam kasus perceraian yang juga bagian dari perkara perdata, hal ini sangat dibutuhkan dan wajib untuk dilaksanakan, mengingat angka perceraian akhir-akhir ini meningkat dan terjadinya penumpukan kasus perceraian di Pengadilan Agama dan tidak mungkin diselesaikan dengan cepat.
Mediasi pada awalnya sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam kasus perceraian, namun manfaat dan tujuannya sangat efektif dalam menyelesaikan kasus perceraian, dengan cara berdamai dan tentunya tidak mengenyampingkan anak sebagai hasil dari perkawinan, hubungan selaturahmi dengan keluarga, karena perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian, dan sesungguhnya Islam sangat menyukai hal yang indah dan damai.

2.1.2. Bentuk-Bentuk Mediasi Dalam Kasus Perceraian
Pada dasarnya bentuk penyelesaian sengketa perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian melalui proses mediasi sudah diatur sebelum keluarnya PMA Nomor 1 Tahun 2008, Para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan perselisihan secara formal maupun informal.[5] Dalam pasal 4 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan  peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, biaya ringan. Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa melalui upaya damai ditegaskan dalam UU Nomor 7 Tahun  1989 tentang Peradilan Agama yang telah diganti dengan peraturan Mahkamah Agung, tentang Prosedur Mediasi Nomor 1 Tahun 2008. Dalam pasal 56 disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya. Keputusan yang diambil hakim tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian sengketa secara damai.
Dalam perkara keluarga misalnya, upaya damai di pengadilan diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal 115, 131, 143 dan 144 KHI, serta Pasal 32 PP Nomor 9 Tahun 1975. Ketentuan yang termaktub dalam pasal-pasal tersebut meminta hakim untuk berusaha mendamaikan para pihak sebelum perkara mereka diputuskan. Dalam hal  ini hakim dituntut untuk menawarkan upaya damai dalam setiap proses peradilan, karena penyelesaian sengketa sengketa dengan cara perdamaian jauh lebih baik daripada vonis hakim. [6]
Penyelesaian kasus perceraian dengan proses mediasi baik secara formal maupun informal memberikan manfaat secara kelembagaan bagi peradilan, karena mediasi dapat meminimalisir terjadinya penumpukan perkara di pengadilan, sedangkan manfaat mediasi bagi pihak yang bersengketa, perkara yang dihadapi dapat diselesaikan secara damai dan dikehendaki oleh pihak yang bersengketa tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian negara sudah bisa memberikan akses keadilan yang cepat, murah, sederhana, tepat dan tidak merugikan pihak-pihak yang bersengketa.
Berdasarkan tempat dan atau jalur yang ditempuh para pihak-pihak yang bersengketa dalam penyelesaian sengketa dengan proses mediasi, maka bentuk-bentuk mediasi dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut:

2.1.2.1. Mediasi di luar lembaga peradilan
Adapun dasar hukum tentang penyelesaian sengketa perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian dengan cara mediasi di luar pengadilan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat 4 Tentang penyelenggaraan Mediasi yaitu,  jika para pihak memilih penyelenggaran mediasi ditempat lain dan tidak didalam peradilan, maka semua pembiayaan tersebut dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Kemudian penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian diluar pengadilan dengan menempuh cara abirtrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang di dalamnya meliputi konsultasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau penilai ahli. Di samping itu mediasi dengan cara informal juga diatur dalam PP Nomor 54 Tahun 2000 yang menekankan pada penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan jalur mediasi atau arbitrase. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur secara luas lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Mediasi di luar lembaga peradilan bukan berarti hasil kesepakatan dari mediasi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan bukan beraerti tidak mengikat, karena dalam Pasal 130 ayat (2) HIR dikemukan bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itu pula dalam persidangan dibuat putusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah mereka buat. Putusan perdamaian itu berkekuatan hukum tetap dan dapat dijalankan sebagaimana putusan biasa lainnya.[7] Kemudian selanjutnya, aturan hukum tersebut diperkuat dengan Pasal 24 PP Nomor 54 Tahun 2000, disebutkan bahwa hasil dari mediasi dalam jangka waktu maksimal 30 hari setelah nota kesepakatan ditandatangani oleh pihak yang terlibat dalam mediasi untuk diserahkan ke lembaga litigasi untuk didaftarkan sebagai bukti autentik adanya kesepakatan damai dari pihak yang bersengketa.
Selain itu penyelesaian sengketa melalui proses mediasi diluar lembaga peradilan lebih lanjut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 yang ditegaskan dalam pasal 23 tentang hasil kesepakatan Mediasi diluar pengadilan. Bunyinya sebaga berikut:[8]
1.      Para pihak dengan bantuan mediator yang bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa diluar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian dengan cara mengajukan gugatan
2.      Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau membuktikan ada hubungan huklum para pihak dengan objek sengketa.
3.      Hakimdihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepaklatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Sesuai kehendak para pihak
b.      Tidak bertentangan dengan hukum
c.       Tidak merugikan pihak ketiga
d.      Dapat dieksekusi, dan
e.       Dengan iktikat baik.

Pasal 23 Unadang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tersebut di atas menjadi dasar hukum diakuinya penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al-Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian di luar pengadilan atau nonlitigasi.[9]Yang terpenting dalam hal ini hasil dari kesepakatan damai yang telah dicapai para pihak yang bersengketa dituangkan dalam sebuah nota ataupun dituangkan dalam bukti autentik yang tertulis, selanjutnya didaftarkan di lembaga peradilan yang sedang berjalan untuk didaftarkan sebagai hasil dari mediasi dan telah terciptanya perdamaian. Dengan demikian hasil dari mediasi bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.



2.1.2.2. Mediasi di dalam lembaga peradilan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 menjadi dasar hukum diharuskannya pelaksanaan Mediasi dalam sengketa perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian dilaksanakan proses mediasi untuk mencapai kesepakatan damai antara dua belah pihak yang berperkara. Jika sekiranya proses mediasi sudah dilakukan didalam peradilan yang tentunya juga difasilitasi oleh peradilan dengan penunjukan hakim mediator ditetapkan oleh majlis hakim pada saat sidang pertama terhitung masuknya perkara ke Lembaga Peradilan Agama, maka proses persidangan baru dapat dilanjutkan masuk pada tahap pra mediasi sesuai dengan pasal 7 yaitu tentang kewajiban hakim pemeriksa perkara dan dan kuasa hukum bahwa yang harus dilakukan hakim dalam persidangan agar mencapai kata persetujuan damai adalah sebagai berikut:
1.    Pada hari sidang yang telah ditentuakan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
2.    Ketidakhadiran pihak tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.
3.    Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
4.    Kuasa hukum para pihak berkeweajibvan mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
5.    Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuyk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
6.    Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi yang tedapat dalam perma kepada para pihak.

Proses mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternative dapat dilakukan di peradilan lain atau yang dikenal mediasi peradilan hal ini PERMA Nomor 1 Tahun 2008 salah satu sebagai pertimbangan Intro Dusirnya mediasi di pengadilan adalah karena mediasi merupakan salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan penumpukkan perkara di pengadilan sehingga proses penyelesaian sengketa akan lebih cepat dan mudah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.[10]
Pada asasnya mediasi tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki lain. Pengecualiannya adalah untuk sengketa publik, yang prosesnya terbuka untuk umum. Oleh karena pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik, kecuali atas izin dari pada para pihak yang bersangkutan.[11] Mediasi diartikan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan di bantu oleh mediator, yaitu pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelsaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bermediasi, fungsinya hanya membantu para pihak untuk menentukan beberapa alternatif dalam rangka menyelesaikan sengketa. Dan perlu ditekankan bahwa mediator tidak berwenang untuk memberikan putusan terhadap sengketa yang terjadi.
Adapun cara penerapan medisi yang efektif seorang mediator harus memiliki kemampuan serta melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a)      Persiapan dan kemampuan perencanaan
b)      Pengetahuan tentang materi yang di rundingkan.
c)      Kemampuan untuk berfikir utuh, jernih dan cepat dalam kondisi dibawah tekanan (waktu) dan ketidak pastian (informasi terbatas).
d)     Kemampuan dan keterampilan mendengar, cepat, tepat, menyederhanakan, reformulasi, rephrase, mensistimatisasikan.
e)      Inteligensi umum dan keterampilan mengambil keputusan.
f)       Integritas (tidak tercela).
g)      Kemampuan mempengaruhi.
h)      Umur maksimum 70 tahun.
i)        Berkepribadian, menarik, sehat rohani dan jasmani.
j)         Sabar.
k)      Kemampuan mengundang secara respek dan dapat membangun kepercayaan dari berbagai pihak. Khususnya kepada para pihak yang bersengketa.

Selain dari pada uraian diatas penulis berpendapat, bahwa penerapan proses mediasi baru bisa dilaksanakan apabila kasus perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian sudah didaftarkan kepengadilan, sekalipun prosesnya terjadi didua tempat pertama diluar pengadilan dan kedua didalam pengadilan.
2.1.3.1.  Tujuan Mediasi      
Menyelesaikan suatu pertentangan yang timbul disebabkan sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian dengan keputusan pengadilan sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai cara yang sudah paling tepat sebagaimana disangka kebanyakan orang. Menyelesaikan suatu perkara atau sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian dengan keputusan pengadilan harus dipandang sebagai cara yang formal saja sekadar lebih terpuji daripada menghakimi sendiri.[12]               
Adapun tujuan mediasi dalam penyelesaian kasus perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian melalui mediasi adalah  sebagai berikut:
  1. Menghasilkan suatu rencana atau kesepakatan ke depan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa.
  2. Mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari keputusan-keputusan yang mereka buat.
  3. Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik dengan cara membantu pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian secara konsensus.[13]

Adapun keuntungan dari penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah:

  1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaiakan sengketa dengan sederhana, cepat dan biaya murah.
  2. Hasil-hasil yang didapatkan akan memuaskan para pihak karena keputusan yang diambil berdasarkan mufakat para pihak.
  3. Kesepakatan yang diperolehkan bersifat secara komperhensif karena tidak hanya masalah hukum saja tapi juga menyangkut masalah di luar hukum baik itu kepentingan sosial atau kepentingan agama.
  4. Mediasi dapat memberi para pihak mampu untuk melakukan kontrol terhadap proses  dan hasilnya.
  5. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan hakim di pengadilan.

2.3.1.2.   Kriteria Dan Kewajiban Mediator
Dalam mediasi melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.[14]
Mediator berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan oleh para pihak. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif agar terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
            Adapun kriteria  untuk menjadi mediator menurut PP Nomor 54 Tahun 2000 adalah :
  1. Cakap melakukan tindakan hukum
  2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
  3. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang llingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun
  4. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan) dan
  5. Memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengah.

Di samping itu mediator juga harus memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Disetujui oleh para pihak yang bersengketa
  2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa
  3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa
  4. Tidak mempunyai hubungan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak
  5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.

Sedangkan dalam Pasal 6 PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menyebutkan bahwa:
  1. Mediator pada setiap pengadilan adalah hakim atau bukan hakim yang memiliki sertifikat mediator yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.
  2. Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang mediator
  3. Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator .

Dari semua paparan diatas menurut penulis jelas bahwa, apabila semua hal tersebut dilakukan  dengan baik, maka tingkat keberhasilan penyelesaian kasus perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian akan dapat dirasakan oleh para pihak bersengketa dan bagi lembaga tersebut dan inilah menurut penulis yang menjadi tolak ukur tingkat penyelesaian kasus perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian ditambah lagi dengan buku petunjuk pelaksanaan Mediasi bagi Hakim dan Mediator yang diterbitkan oleh mahkamah agung pada Tahun 2009.

2.1.3.      Tolak Ukur Keberhasilan Mediasi Dalam Kasus Perceraian
Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin berkurang, salah satu masalah yang dihadapi oleh badan peradilan di Indonesia adalah lambannya proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Dengan penyelesaian sebanyak 8.500 perkara setiap tahunnya sedangkan penerimaan perkara yang jumlah dan besarnya selalu bertambah, dapat diperkirakan bahwa penumpukan putusan di Mahkamah Agung tidak akan dapat diselesaikan.[15]
            Banyaknya perkara Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung disebabkan oleh sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung, antara lain sedapat mungkin menyelesaikan perkara perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian di Pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.[16]
            Perkembangan masyarakat, perdagangan dan industri yang semakin kompleks menuntut adanya institusi yang menangani sengketa secara cepat. Tuntutan bisnis internasional di era globalisasi yang meningkatkan bobot sengketa di masyarakat juga mengharuskan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Penyelesaian sengketa di Pengadilan di samping laban juga boros energi, waktu dan uang. Sedangkan dunia bisnis menghendaki efisiensi, kerahasiaan serta hubungan kerjasama yang baik yang pada intinya diharapkan adanya penyelesain sengketa melalui in-win solution[17].
            Indonesia telah mengenal dan mengakui cara mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Sejak keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 diganti dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, dan Pasal 154 Rechtsreglemen voor de Buitengewesten (R.Bg) yang berlaku untuk wilayah di luar Jawa dan Madura, yang pada intinya mengisyaratkan upaya perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Maka upaya penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediasi layak menjadi pilihan utama. Selain dapat merundingkan keinginan para pihak dengan jalan perdamaian, upaya mediasi tentunya akan menguntungkan pengadilan karena mengurangi tumpukan perkara. Bila dicermati penyelesaian konflik atau persengketaan melalui pengadilan butuh wktu relatif lama dan perlu biaya yang besar.
            Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 6 ayat (5)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.[18]
            Undang-undang tidak memberikan rumusan atau pengertian yang jelas dari mediasi atau mediator. Namun dalam Pasal 1 Butir 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, menyebutkan bahwa pengertian dari mediasi yakni ”suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan bantuan mediator”.
Sebagaimana dalam penjelasan di atas baik yang terdapat dalam tujuan mediasi ataupun tujuan mediator bahwa sengketa kebendaan atau sengketa non perceraian, perkara yang berhasil dimediasi akan terwujud dalam bentuk akta perdamaian yang akan dikukuhkan oleh putusan pengadilan yang amarnya “menghukum kedua belah pihak mentaati isi akta perdamaian”. Namun dalam masalah perceraian keberhasilan mediasi (rukun dan tidak melanjutkan perceraian) tidak dibuat akta perdamaian, melainkan hanya mencabut gugatan / permohonannya. Berangkat dari sistem tersebut, maka disini penulis sependapat dengan Ali Muhtharom bahwa ukuran keberhasilan mediasi pada perkara perceraian adalah banyaknya jumlah perkara Perceraian yang dicabut. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan proses pencabutan tersebut tidak disebabkan oleh proses mediasi yang disediakan di pengadilan tetapi terkadang melalui pertimbangan para pihak beperkara sendiri. Oleh karena pada prinsipnya proses mediasi bisa dilakukan sepanjang proses beperkara di pengadilan masih berjalan, baik itu dilakukan melalui lembaga mediasi yang disediakan di pengadilan maupun diluar pengadilan yang dilakukan oleh para pihak beperkara sendiri.[19]
Berikut ini adalah format data pengadilan dalam menangani perkara perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian sebagai ukuran tingkat keberhasilan Mediasi dan juga Hakamain didalam dan diluar pengadilan.[20]
Jenis Perkara
Produk Mediasi
Putusan  Penetapan
Ukuran keberhasilan
Non Perceraian
Akta Perdamaian
Mentaati isi
perdamaian
Jumlah perkara yang
keluar akta perdamaian
Perceraian
Kesepakatan rukun
Pencabutan
Jumlah perkara yang
dicabut

Kemudian selain itu tolak ukur keberhasilan mediasi dalam sengketa (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian dapat dilihat dari tujuan mediasi diatas yang terapkan dalam pengadilan itu sendiri.



2.2  Konsep Hakamain Dalam Hukum Islam
2.2.1.      Pengertian Dan Dasar Hukum Hakamain
Hakamain adalah salah satu istilah yang terdapat dalam hukum islam sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus syiqaq. Secara umum diketahui bahwa hakamain ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri.
Hakamain berasal dari bahasa arab sebagai kata dasar adalah ‘Hakam’ yang berarti berarti perwakilan. Namun apabila ditambah dengan kata ‘Ain’, maka artinyapun berubah menjadi dua orang perwakilan yang disebut sebagai hakamain dalam hukum islam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus syiqaq.[21]
Istilah hakamain juga terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35 yang juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan hakamian. Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz

Artinya :Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka  kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa:35).

Dari ayat diatas terbut dapat dipahami bahwa, Hakamain adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian.
Namun dalam pandangan tentang hakamain ulama berbeda pandapat tentang kekuasaan dua orang hakamain, yakni apakah dua orang hakam tersebut berkuasa untuk mempertahankan perkawinan atau menceraikannya tanpa izin suami istri, ataukah tidak ada kekuasaan bagi kedua orang hakam itu tanpa seizin keduanya, di antaranya yaitu:
Menurut Imam Malik, Bahwa kedua orang hakam itu dapat memberikan suatu ketetapan pada suami istri tersebut tanpa seizinnya, jika hal tersebut di pandang oleh kedua orang  hakam tersebut dapat mendatangkan maslahat, seperti seorang laki-laki menjatuhkan talak satu kemudian istri memberikan tebusan dengan hartanya untuk mendapatkan talak dari suaminya. Artinya, kedua orang hakam tersebut merupakan dua orang hakim yang di berikan kekuasaan oleh pemerintah.
Menurut Imam Abu Hanafiyah, Bahwa kedua orang  hakam tidak boleh menceraikan suatu perkawinan tanpa izin dari suami istri, karena  hakamain adalah wakil dari suami istri tersebut. Artinya bahwa seorang  hakam dari pihak suami tidak tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri juga tidak dapat menjatuhkan khuluk sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami.
Menurut Imam Al-Syafi’i, Bahwa tugas hakamain itu adalah sebagai wakil dari pihak suami dan istri, menjalankan keinginan keduanya dan tidak boleh sampai memisahkan kehidupan perkawinan antara keduanya.[22]
Sedangkan menurut Ulama Ahli Fiqh, Bahwa kedua hakam itu di kirimkan dari keluarga suami dan istri, di kecualikan apabila dari kedua belah pihak yaitu suami dan istri tidak ada orang yang pantas menjadi juru damai, maka dapat dikirim orang lain yang bukan dari keluarga suami atau istri. Apabila kedua  hakam tersebut berselisih, maka keduanya tidak dapat dilaksanakan dan untuk mengumpulkan kedua suami istri bisa dilakukan tanpa adanya pemberian kuasa dari keduanya. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang pemisahan suami dan istri yang dilakukan oleh hakam, apabila keduanya sepakat untuk menceraikan mereka, apakah diperlukan persetujuan dari kedua belah suami istri atau tidak
Kemudian Hakamain secara istilah yang cukup popular di kalangan Hakim Peradilan Agama di Indonesia secara langsung diartikan dengan, “ Dua orang Hakam dari Pihak Hakim”. Diketahui bahwa hakam ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Tetapi dalam kondisi tertentu Majelis Hakim dapat mengangkat , “Hakamain min Jihatil Hakim” yang bukan dari pihak keluarga para pihak, diantaranya yang berasal dari Hakim Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama.[23]
Menurut Insyafli Garis hukum yang dapat kita tarik dari kutipan di atas adalah bahwa, dalam hal khusus (misalnya pihak keluarga kurang memenuhi persyaratan), maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk mengangkat dua orang yang  bukan keluarga sebagai hakamain, dalam hal ini misalnya Mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah (Aceh) yang berasal dari kalangan Hakim. Apalagi mengingat kemampuan mereka untuk mengemban tugas, mencari penyelesaian dalam sengketa para pihak pasti lebih unggul dibandingkan dengan dari pihak keluarga.[24]
Lembaga “Hakam” merupakan lex specialis di dunia Peradilan Agama yang notabene merupakan penerapakan “Hukum Manshuskh” dari firman Allah SWT dalam Al-Quran yang terdapat surat An Nisa’ ayat 135 dalam perkara “Syiqaq” atau perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak.
2.2.1.1. Syarat-syarat menjadi Hakamain
Dalam hal persyaratan menjadi hakamain pada dasarnya tidak diatur dalam hukum islam sebagai ketetapan yang bisa menjadi dasar hukum yang kuat, karena menurut Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An Nisa’ Ayat 135 yang sudah disebutkan diatas hannya mewajibkan adanya dua hakam yang diutus dari pihak suami isteri tersebut, artinya masih terdapat perbedaan pendapat, tetapi menurut Syeikh Jalaluddin al-Mahally syarat-syarat menjadi hakam adalah sebagai berikut: [25]
ويشترط فيهما الحرية والعدا لة والا هتداء الى ما هو المقصود من بعتهما
Artinya: “Disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang tugas-tugas yang dibebankan kepadanya”.

Kemudian Sebagai landasan ilmiyah fiqhiyah, dapat kita lihat pendapat Wahbah az-Zuhaili, sewaktu menguraikan syarat-syarat hakam sebagai berikut:[26]
فان لم يكونا من اهلهما بعث القا ضي رجلين اجنبيين و يستحسن ان يكون من جران الزوجين ممن لهما خبرة بحا ل الزوجين و قدرة علي الا صلاح بينهما
Artinya: “Jika keduanya tidak berasal dari keluarga kedua suami isteri, Hakim mengangkat dua orang laki-laki yang bukan kelaruga (orang lain: ajnabiy). Baik sekali keduanya berasal dari tetangga suami isteri, yang mengetahui  betul keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk mendamaikan keduanya”.
Selain dari pada syarat-syarat diatas untuk menjadi hakamain menurut jumhur ulama adalah orang muslim, adil, di kenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.

2.2.1.2  Tujuan Hakamaian
           Tugas hakamain adalah mengarahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebab perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki dan mendamaikan  hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah dan dapat menyatukan kembali pasangan suami istri tersebut.
Peranan hakamain sebagai mediator (pemberi saran) dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Kewenangan hakam selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan kepada hakim. Karena Undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan sebagai hasil dari pada proses penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) tersebut.
Menurut firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 135 diatas, jika terjadi kasus antara suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami da seorang hakam dari pihak istri yang berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik.
Terhadap kasus syiqaq ini, hakam yang disebut sabagai hakamain bertugas menyelidiki dan mencari sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakamain berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakamain ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Hakammain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.


2.2.1.3.  Hikmah Di Utusnya Dua Penengah
            Hikmah adanya hakamian di antaranya untuk menghilangkan adanya tindakan-tindakan yang merugikan pihak-pihak lain, untuk menyelesaikan perselisihan, mencegah permusuhan, menyelesaikan pertengkaran. Hakam baru boleh di utus bila cara-cara seperti nasihat, pengacuhan, pemukulan sudah tidak bias memberikan efek jera kepada pasangan suami-istri tersebut.
            Dalam kehidupan rumah tangga terjadinya perselisihan adalah yang biasa dan mungkin terjadi bahkan sering terjadi perselisihan bila sudah mulai tampak ketidak cocockan dalam membina rumah tangga. Hal yang kecilpun menjadi besar dan hal yang besarpun menjadi lebih fatal.[27] Islam sejak dulu sudah mengantisipasi problem rumah tangga yang memburuk dengan adanya perceraian, perceraian itu oleh islam di perbolehkan walaupun di benci agama. Namun sebelum terjadinya perceraian pasangan suami-istri hendaknya selalu untuk berusaha menjaga hubungan tersebut agar perselihan tersebut tidak berakhir dengan perceraian.
            Perselisihan yang semakin meruncing tentunya akan mengakibatkan suami-istri itu tidak cakap lagi dalam menyelesaikan biduk rumah tangganya lagi, kalau keadaan semacam itu maka perlu di utus adanya hakamaian guna memperbaiki dan mendamaikan pasangan suami tersebut, terkait dengan masalah yang di hadapi.
            Hakamain yang di utus dalam perselisihan tersebut terdiri dari seorang hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak-pihak perempuan, dan sebaiknya mengutus seorang hakam yang benar-benar tahu keadaan suami mapun istri tersebut (orang yang banyak mengetahui karakter maupun perilaku suami maupun istri tersebut). Bila mana dari salah satu pihak maupun keduanya tidak mempunyai hakam dari keluarga sendiri maka tentunya mencari seorang hakam yang di anggap mampu baik dari segi ilmunya maupun cara dia menyelesaikan sengketa tersebut.
            Hakamain dari pihak luar yang mempunyai kapasitas dan kredibilitas yang dipilih oleh pengadilan agama disebut dengan hakam min jihat al-hakim di mana dia menjadi wakil atau penyambung lidah dari hakim untuk bernegoisasi dan mendamaikan suami-istri yang sedang bersengketa guna mencari titik temu.
            Bila mana hakamain dalam menegoisasi dan memediatori pihak suami istri yang berselisih berhasil dan mendapatkan titik temu maka suami-istri tersebut hendaknya melakukan islah sebagaimana yang telah di anjurkan oleh al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ ayat 35. Dan apabila hakamain dalam menegoisasi dan memediatori tidak menemukan titik temu terkait masalah suami-istri tersebut maka lebih baik bercerai dari pada nantinya akan terjadi suatu hal yang makin memperburuk keadaan.

2.2.2.      Bentuk-Bentuk Hakamain Dalam Kasus Perceraian
Pada dasarnya bentuk hakamain tidak ditentukan dalam hukum fiqh, tetapi Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa’ Ayat 128 sampai 129 menegaskan bahwa penyelesaian sengketa harus melibatkan  hakam sebagai hakamain sebagai pihak ketiga bunyinya sebagai berikut:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ `s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§
Artinya :   Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Q.S. An-Nisa’ Ayat 128-129)

Dari ayat diatas secara tafsir dapat dipahami bahwa apabila seorang wanita di khawatirkan akan nusyuz atau sikap tidak acuh terhadap suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perjanjian yang sebenar-benarnya,[28] dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun pada dasarnya manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika suami menggauli menggauli isterinya haruslah secara baik dan memeliharanya (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kemudian sebagai suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil kepada isteri, walaupun menginginkan, karena itu janganlah terlalu cenderung mencintai suami dan isteri terhadap suami, sehingga diantara keduanyan membiarkan yang lain (Anak dan keluarga) terkatung-katung.
Nusyuz dari pihak isteri seperti adalah meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya, hal ini ditandai dengan tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan hak-hak diantara keduanya.[29]
Para ulama tidak menentukan bentuk hakmaian secara rinci hanya mewajibkan dalam hakamain harus ada orang yang menengahi perselisihan yang terjadi sudah kronis, sekalipun belum di ketahui pihak mana yang bersalah, atau telah di identifikasi kedua-duanya bersalah, dan sang suami tidak sudi menggauli istrinya dengan baik, tapi tidak mau menceraikannya, begitu pula halnya dengan si istri
            Para ulama sepakat bahwa dua penengah yang di utus itu satu harus dari pihak suami dan satunya dari pihak istri. Bila hal itu tidak memungkinkan, maka boleh di gantikan dengan orang yang di anggap tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Para ulama juga sepakat bahwa dua penengah itu mempunyai hak dan wewenang penuh untuk memutuskan apa yang menurut mereka terbaik dan wajib di taati oleh suami dan istri yang sedang berselisih. Akan tetapi bila tidak ada kesepakatan maka keputusan yang telah di berikan ke dua penengah tidak perlu di jalankan.
            Pendapat penulis tentang penerapan bentuk hakamain dalam hukum islam yang efektif adalah menurut Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam yang telah ditermahkan oleh Muhtadi Kadi dalam bukunya bawalah keluargamu ke syurga, adalah sebagai berikut:
            Muslim yang baik adalah, berusaha mendamaikan dua orang yang berseteru dan membuka pintu kebaikan dihadapan mereka sebagaimana firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 114 sebagai berikut:
žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã
ِ
Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q.S. An Nisa’: ayat 114)
                  
Dari maksud ayat diatas menurut Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam, jika seorang muslim mendapatkan dua orang saudaranya yang saling berseteru, maka hendaknya dia (hakam, hakamain, atau mediator) pada saudaranya yang satu (Suami) dengan kabar gembira, meskipun itu bohong ( tidak sesuai). Demikian juga dia (hakam, hakamain atau mediator) menceritakan kepada yang satu lagi (Isteri) juga dengan kabar kebaikan. Supaya hati mereka berdua (Suami Isteri) dapat menyatu.[30]
Hal seperti itu bukanlah suatu dosa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim, bahwa Rasulullah Saw, pernah bersabda. [31]
عن أم كلثوم بنت عقبة أخبرته : أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليس الكذاب  الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا
Artinya :"  Dari Ummu Kultsum binti Uqbah mengabarkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw Bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. (Muttafaqun 'Alaih)
Di dalam riwayat Al Imam Muslim ada tambahan:
ولم أسمع يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها
Artinya :   “ Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsah (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya” (Muttafaqun 'Alaih)
Apakah anda rela melihat kehancuran rumah tangga orang lain sehingga dengan limpahan rahmat Allah membolehkan kita untuk berbohong dalam menyatukan dua hati (Suami Isteri) demi kebaikan. Begitulah mulya amal orang muslim yang menyatukan hati (Suami Isteri) agar mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan untuk meraih ridha Allah yang maha mulya.




2.2.3.      Tolak Ukur Keberhasilan Hakamain Dalam Kasus Perceraian
Tolak ukur keberhasilan Hakamain dalam hukum islam tidak disebutkan atau diatur secara rinci sebagai pedoman teknis pelaksanaan hakamain itu sendiri, menurut penulis hal ini terjadi karena mengingat hakamain hanya diberlakukan dalam kasus syiqaq atau perselisihan antara suami dan isteri saja, tetapi Al-Qur’an hanya menegaskan atas kewajiban adanya hakamain dalam perkara syiqaq tersebut seperti yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ 135,128,129,114  yang sudah disebutkan diatas, selain  itu keberhasilan hakamain menurut penulis tidak dapat dilihat dari segi materil, karena keberhasilan hakamain secara hakikat dalam hukum islam berada pada kadar iman seseorang sehingga hal-hal yang menyebabkan perselisihan itu tidak akan terjadi apabila seorang suami atau isteri sangat memahami antara hak dan kewajibannya, maksud hak dan kewajiban disini bukanlah hak dan kewajiban yang telah diatur oleh Undang-undang sebagai hukum positif, tetapi ialah hak yang diatur oleh agama yang dapat dirasakan secara bathin atau tidak dapat dijelaskan secara bahasa tentang rasa tersebut secara rinci.
Selain daripada uraian diatas sebagaimana yang telah disebutkan tolak ukur keberhasilan Mediasi menurut Ali Muhtharom bahwa ukuran keberhasilan mediasi pada perkara perceraian adalah apabila semakin banyaknya jumlah perkara perceraian yang dicabut dari lembaga pengadilan tersebut.
Selanjutnya dalam hakamain menurut penulis tolak ukur keberhasilannya adalah apabila tidak ada kasus perceraian yang sampai keperadilan, hal ini disebabkan bahwa pencapaian hakikat mediasi dan hakamian berbeda.
Menurut penulis sekalipun Mediasi adalah sebagai alternatif penyelesain, yang diupayakan agar para pihak berdamai, tetapi  kecendrungannya tetap mempunyai status hukum yang implementasinya sudah cacat dalam hukum islam untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah, sebagai hakikat dasar dalam keluarga islam.
 Sedangkan konsep hakamain dalam hukum islam kecendrungannya adalah sebagai pencegahan agar tidak terjadinya persengketaan keluarga dalam kasus syiqaq dan kalaupun terjadi perceraian diupayakan tetap dalam bingkai kedamaian, karena  bagaimanapun perceraian tetap akan bisa terjadi yang tidak semata-mata diakibatkan oleh persengketaan yang dianggap negatif.[32]
Adanya perbedaan cara penyelesain yang diberikan al-Qur’an terhadap nusyuz yang dilakukan oleh suami isteri, para mufasir melihat bahwa sebenarnya kemaslahatan rumah tangga secara umum lebih ditentukan oleh suami. Oleh karena itu prioritas keadaan baik tidaknya keluarga tersebut lebih ditekankan kepada suami.
Memang kadang-kadang ada suami yang lemah sehingga isterinya lebih pandai dalam mengatur rumah tangga. Namun suami tetap lebih bertanggung jawab dalam menciptakan keadaan tentram, damai, dan sejahtera dalam rumah tangga tersebut, dan memang suamilah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga hal ini telah dipertegas oleh Al Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam  Surat An-Nisa’ Ayat 34 berikut bunyinya: Allah berfirman
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S.An-Nisa’:34)

Maksud daripada ayat diatas secara tafsir adalah seorang isteri harus patuh kepada suami selama suami itu masih dalam keadaan benar dan bertanggung jawab kepada isterinya, serta mencukupi nafkah lahir dan bathin dan seorang isteri tidak boleh berlaku curang (Selingkuh) serta bisa memelihara rahasia dan harta suaminya begitupun sebaliknya bagi seorang suami.[33]
            Kemudian proses hakamain juga berbeda dengan proses mediasi. Proses mediasi dalam pembahasan sebelumnya adalah terjadi didua tempat pertama diluar peradilan yang kedua didalam peradilan itu sendiri yang prosesnya menurut penulis adalah  secara menyeluruh,[34]dan mediasi hanya bisa dijalankan apabila perkara perceraian tersebut sudah diangakat atau didaftarkan kepengadilan yang secara logika menurut menulis apabila suatu perkara sudah diangkat atau didaftarkan kepengadilan berarti kasus tersebut sudah tidak sanggup lagi diselesaikan oleh hakamain secara kekeluargaan baik melalui aparatur desa ataupun tokoh masyarakat, tokoh agama terlebih didalam keluarga besar antara pihak suami dan isteri yang bermusyawarah untuk mufakat secara bersama.
Sedangakan hakamain menurut penulis juga terjadi didua tempat yaitu, pertama sebelum perkara perceraian tersebut diangkat kepengadilan yang kedua setelah perkara tersebut kepengadilan. Hanya lagi dalam fungsi dan tugas hakamain sebelum dan sesudah perkara tersebut diangkat kepengadilan menjadi berbeda, kalau hakamain sebelum perkara tersebut diangkat kepengadilan hakam sebagai hakamain mempunyai peran penting dalam proses tersebut sebagai titik temu daripada kinerja hakamain dalam mendamaikan konkritnya kalau dalam proses menghakmaiankan para pihak suami isteri ini mereka yang ditunjuk sebagai hakamain lalai, maka disinilah letak kehancuran keluarga tersebut.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan imam Malik yang sudah ditulis sebelumnya mengatakan bahwa, hakam sebagai hakamain boleh memutuskan (menceraikan) suami isteri tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak bila dalam hal ini hakamain memandang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi mereka.
Sedangkan hakamain setelah perkara kasus syiqaq tersebut sudah diangkat kepengadilan, maka tugas dan fungsi hakamain semata-mata hanya mendampingi para pihak suami isteri dalam mengurusi perkara mereka dan untuk memberi keterangan-keterangan yang dibutuhkan peradilan, hakim, dan hakim yang diangkat sebagai mediator dalam memudahkan segala urusan mereka.
Dari semua uraian diatas menurut penulis jelas bahwa, apabila hakam sebagai hakamain mampu menjalankannya insya Allah penulis yakin perkara perceraian tidak akan terjadi selain itu tolak ukur keberhasilan hakamain dalam kasus perceraian itu bisa tercapai apabila seorang mampu melaksanakan tujuan hakamain tersebut yang dapat dilihat dalam pembahasan sebelumnya.




1 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 2

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1988), hlm. 569.

[3] Gary Goopaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: Elips Project, 1993), hlm. 1

[4]  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi diperadilan Umum dan peradilan Agama.

[5] Penyelesaian sengketa secara formal adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi) dan secara informal, adalah  penyelesaian sengketa di luar pengadilan (nonlitigasi)

[6] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif…, hlm. 293.

[7] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 160

[8] PMA Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 23 Ayat 1-3


[10] Hamdan, Kode Etik Mediator, Http://Www.Badilag.Net/Data/Artikel/Mediasi. (diakses pada 15 Maret, 2011), hlm. 5

[11] PMA Nomor 1 2008 Pasal 1 Ayat 12

[12] Victor M Situmorang, 1993, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, (PT. Rineka Cipta, Jakarta,), hlm. 16.


[13] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Mediasi Diluar Pengadilan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 72

[14] Ibid. hlm. 81

[15]  Mahkamah Agung RI, 2004, Mediasi dan Perdamaian. Disampaikan oleh H. Soeharto (ketua steering comitte Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi .Jakarta Juni Tahun 2009


[16] Mahkamah Agung RI, Ibid.

[17] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif…, hlm. 5.

[18] Gunawan Widjaja. Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.  89

[19] Ali Muhtharom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian, Http://Www.Badilag.Net/Data/Artikel/Mediasi (diakses pada 13 Maret, 2011), hlm. 3

[20] Sumber format penulis ambil dari pedoman papan pengumunan perkara di Mahkamah Syari’ah Aceh Tahun 2011

[21] Insyafli, Pemberdayaan Hakamain Dalam Penyelesaian Perceraian, http://www .badilag .net/data/Artikel/Mediasi. (diakses pada 15 Maret  2011), hlm. 3


[22] Abdurrahaman al-zaziry, al-fiqh ‘ala Mazhabib al-Arba’ah, ( Mesir: Dar al_Nadhah al-‘Arabiyah, 1976), hlm. 341

[23] Yahya Harahap, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Jakarta. Pustaka Karini, 1997), hal. 270.

[24] Insyafli, Pemberdayaan Hakamain……, hlm. 5

[25]  Jalaluddi al-Mahally, Qalyuby wa Umairah, (Mesir: Dar al-Ihya, al-Kutub al-‘Arabiyah 1979), hal. 307

[26] Wahbah Az-zuhaily, al-fiqh al-islamy wa adillatuhu, (Damsyiq. Dar al-fikr, 1984), hlm. 828


[27] Sugiri Permana, Mediasi dan Hakam dalam tinjauan Hukum Acara Peradilan Agama ,Http://Www.Badilag.Net/Data/Artikel/Mediasi. (diakses pada 15 Maret 2011), hlm 4.



[28] Perjanjian dalam kasus syiqaq adalah menghukum tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang disengaja baik itu datangnya dari suami ataupun isteri yang cenderung nusyuz

[29] Lihat Tafsir Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 128-129

[30] Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam, Bawalah keluargamu ke Syurga, panduan membimbing keluarga agar berjalan diatas Titian Manhaj Rasulullah, ( Jakarta Timur, Mirqat Media Grafika, 2007), hlm. 41-42

[31] HR. Al-Bukhri, Hadits Nomor 2692. HR. Muslim, Hadits Nomor 6576. HR. Abu Dawud, Hadits Nomor 4920. HR. At-Tirmidzi, Hadits Nomor 1938

[32] Negatif adalah suatu pandangan yang tidak baik atau bertolak belakang dari keadaan yang sebenarnya dalam skripsi ini negatif penilis artikan dengan nusyuz suami atau isteri sebagai akibat daripada sengketa keluarga dalam kasus syiqaq berujung pada perceraian.

[33]  Lihat Tafsir Ayat  Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34 secara lengkap

[34] Menyeluruh penulis artikan dalam skripsi ini adalah disemua tempat selama dalam penanganan perkara tersebut, baik dalam proses sidang maupun diluar proses sidang dan oleh siapaun yang mampu mendamaikan selama tidak bertentangan dengan prosedur mediasi di Peradilan Umum, Agama, dan Mahkamah Syari’ah (Aceh)