Minggu, 12 Juni 2011

INTEGRASI MEDIASI DAN HAKAMAIN UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENYELESAIAN KASUS PERCERAIAN


BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sunnatullah yang dilakukan oleh manusia untuk dapat menyalurkan nafsu biologisnya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Pekawinan juga merupakan sarana untuk menjaga kelangsungan generasi penerus serta alat unutk untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebagai perbuatan yang dianjurkan, maka islam telah memberikan aturan atau tata tertib perkawinan yang lengkap, sehingga jika dipedomani dan dipertahankan anggota-anggota masyarakat serta para pemuka masyarakat adat atau pemuka agama, maka akan tercipta rumah tangga yang sakinah, mawaddah , dan warahmah.[1]
            Sangat banyak rumah tangga yang hancur dan berakhir yang disebabkan oleh suatu factor tertentu, sehingga mekanisme penyelesaian atau bahkan pencegahan yang efektif sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan terjadinya kehancuran rumah tangga tersebut. Dalam hukum islam, sebelum sampai pada tahap perceraian, ada salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam rumah tangga yang dikenal dengan Hakamain.
            Hakamain adalah upaya penyelesaian sengketa rumah tangga, yaitu dengan cara mengutus dua orang yang ahli dalam menyelesaikan perkara yang tengah dihadapi oleh salah satu keluarnya tersebut biasanya diputuskan dalam musyawarah keluarga baik secara langsung ataupun tidak, dan mereka ini mewakili dari masing-masing pihak suami dan isteri. Guna untuk mencari pnyelesaian masalah yang sangat efektif dan tidak merugikan dari masing-masing baik suami ataupun isteri.
      Istilah hakamain sebetulnya berasal dari Al-Qur’an yang ada pada surat An-Nisa’ ayat 35 Allah Swt. Berfiraman.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz

Artinta :  “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa’ 35

            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Hakamain adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami dan isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan antara suami dan istri untuk mendamaikan keduanya.
            Secara termenologi hakamain menurut Slamet Abidin dkk bahwa Hakamain artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara suami istri tersebut.
            Sedangkan menurut M.Yahya Harahap, dalam bukunya sebagai berikut, “Noel J. Coulson memberi sinonim„arbitor sebagai kata yang sepadan dengan hakamain. Begitu juga Murtadha Mutahhari mengemukakan padanan Hakamain dengan kata „
            Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006, istilah Hakamain dipakai di antaranya dalam pasal 72 ayat (2) sebagai berikut, “ Hakamain  adalah  orang  yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan  terhadap syiqaq”. 
            Bila kita ingin membandingkan antara hakamain dalam pengertian ayat Al-Qur’an di atas dengan Hakamain dalam pengertian UU Nomor 7 Tahun 1989 terlihat kesamaan arti antara keduanya. Akan tetapi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Hakamain diperluas dengan atau pihak lain. Pihak lain inilah yang bisa kita interpretasikan sebagai Hakamain min Jihat al- Hakim atau mediator dalam hukum positif.
            Sebagai hakamain yang dipilih mewakil antara pihak suami dan isteri tersebut hendaklah bersikaf netral serta tidak boleh mempengaruhi atau mendorong para pihak untuk bercerai. Karena hakamain hanyalah sebagai perantara untuk memperlancar komunikasi dan koordinasi antara suami isteri yang terganggu akibat persengketaan/ perselisihan yang sedang dihadapi. [2]
            Dalam penyelesaian perselisihan dengan cara hakamain dalam bagian pidato Umar bin al Khatab mengenai penyelesaian perkara percerain oleh seorang hakamain, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai Al-sulhu khairun, sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Sehingga dengan demikian suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing sebagai langkah menindak lanjuti masalah tersebut.
Sedangkan teknis penyelesaian perkara atau cara kerja seoarang hakamaian secara tidak langsung tidak diatur dalam hukum islam secara rinci, karena hakamain hanya bisa melakukan hukum normatif yang tidak diatur dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Karena dalam sistem hukum Islam melalui non litigasi memiliki konsep tersendiri yaitu as-sulh atau seluruh sengketa perdata (mua’ammalah), sengketa keluarga (ahwal asy-syakhsiyah), dan sengketa lainnya yang memiliki nilai ibadah dalam penerapannya. [3]
Kedudukan hakamain para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang mengangkat dan mengutus hakamain atau mediator bila kita hubungkan dengan hukum positif. Dalam mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa berdasarkan Zhahir ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35 seperti yang sudah dituliskan diatas bahwa hakamain atau mediator diangkat oleh pihak keluarga suami atau isteri, dan bukan suami atau isteri secara langsung. [4]
Pandangan ini berbeda dengan pandangan beberapa ulama kotemporer seperti Wahbah Zuhaily dan Sayyid Sabiq bahwa hakamain atau mediator dapat oleh suami isteri yang setujui oleh mereka sebagai penegah yang akan membantu mencari jalan keluar dari pada masalah yang mereka hadapi dan ini telah diadopsi dalam hukum positif.[5] Sebagaimana yang diterapkan oleh peraturan yang dijalankan dalam peradilan sebagai hukum acara perdata yang terdapat dalam perturan mediasi sebelum pemeriksaan perkara dimana pengadilan harus mengadakan/mengajukan mediasi dengan menunjuk mediator baik yang ada dalam peradilan atau bahkan yang bersal dari para pihak tersebut sesuai dengan pasal 6 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2003  disebutkan bahwa mediator pada setiap pengadilan adalah berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah mendapat sertfikat mediator.[6]
Maka dari uraian diatas menurut analisis penulis yang perlu diketahui bahwa pengangkatan hakamain atau hakim mediator adalah sebuah kewajiban hanya lagi hakamain yang diadopsi dari hukum islam berasal dari pada keluarga, karena uapaya pencapaian perdamaian terjadi diluar pengadilan dan mungkin sebelum perkara tersebut diangkat ataupun sebelum didaftarkan perkaranya kepengadilan. Sedangakan mediator dapat diadakan atau ditunjuk oleh pengadilan, itu terjadi setelah perkara tersebut diangkat atau didaftarkan kepengadilan baru diadakan mediasi dengan menunjuk hakim mediator.
Dalam kaitannya hukum positif sebelum terjadinya perceraian suami isteri yang mengalami percekcokan dalam keluarga tersebut maka hal yang pertama ditawarkan sebelum pemeriksaan perkara yang belum diketahui apa permasahan terjadinya persengketaan dalam keluarga tersebut, maka hal utama yang dirawarkan oleh hakim dalam pengadilan adalah upaya perdamaian yang disebut dengan mediasi.
Mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Selain itu Mediasi ini adalah salah satu alternatif penyelesaian sengkketa diluar pengadilan yang wajib dilaksanakan oleh hakim pada saat pembukaan siding pertama.[7] Mediasi memiliki ruang lingkup utama berupa kasus privat/perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, dan keluarga/ perceraian dan perdata lainnya yang dapat diselesaikan lewat jalur Mediasi, namun dalam Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah lebih cendrung kepada sengketa (Mu’ammalah Al-Ahwal As-Syakhsyiah).[8]
 Adapun cara kerja mediasi itu bisa dilihat pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri kedua belah pihak, maka pada saat itu hakim menjelaskan tentang keharusan para pihak untuk menempuh proses mediasi dan ketidak hadiran turut tergugat dalam perkara tersebut tidak menghalangi pelaksanaan mediasi hal sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2.
Namun pada kenyataannya Mediasi dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah secara nasional selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, berjumlah 217.084, 11.327 perkara yang dicabut. Ini berarti hanya 5,2% yang berhasil damai atau didamaikan oleh hakim atau hakim mediator itu sendiri .[9] Hal ini menunjukkan keberhasilan mediasi atau efektifitas penerapan mediasi dalam pengadilan belum begitu sempurna, maka dari itu perlu adanya sebuah kajian khusus tentang penerapan mediasi yang bisa membawa perubahan di pengadilan.
Mediasi dan hakamain adalah dua istilah yang berbeda dan fungsi nya juga berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama dalam suatu penyelesaian sengketa
Perbedaan mediasi dan hakamain ialah terletak pada kasus perkara yang akan diselesaikan, sekalipun penyelesaian sengketa yang akan di mediasi masih berada dalam kompetensi/kewenangan lembaga pengadilan tersebut.
Mediasi wajib dujalankan/dilakukan dalam semua sengketa perdata (Mua’mmalah Ahwal Asy-Syakhsiyah) termasuk didalamnya kasus perceraian, yang diajukan kepengadilan agama dan mahkamah syari’ah khususnya di Aceh, sedangkan Hakamain hanya dapat dijalankan atau dilakukan dalam kasus perceraian. Artinya pemberlakukan mediasi adalah secara umum dan hakamain adalah secara khusus pada kasus perceraian saja dan inilah yang menjadi kelebihan dan kekurangan dalam kedua istilah hukum tersebut.
Tetapi bagaimana jika Mediasi dan Hakamain sekaligus dilaksanakan atau jalankan untuk mencapai suatu kesepakatan damai khususnya dalam kasus perceraian? dan inilah yang menjadi kajian penulis yang mudah-mudahan akan dibahas dalam skripsi ni.
Maka dari semua uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang mediasi dan hakamain dalam penerapannya dipengadilan agama dan mahkamah Syari’ah ( Aceh, dalam kasus perceraian yang nantinya bisa untuk meningkatkan penyelesaian perkara dipengadilan.
1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan urain di atas, maka diperoleh pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu :
1.      Bagaimana konsep Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian?
2.      Apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing konsep Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian?
3.      Bagaimana integrasi konsep Mediasi dan Hakamain untuk lebih meningkatkan efektifitas penyelesaian kasus perceraian?
1.3.  Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pandangan Mediasi dan Hakamin dalam penyelesaian  kasus-kasus perceraian.
2.      Untuk mengetahuhi kelebihan dan kekurangan penerapan Mediasi dan Hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian
3.      Untuk mengetahui integrasi konsep Mediasi dan Hakamain untuk lebih meningkatkan efektifitas penyelesaian kasus perceraian.
1.5.  Penjelasan istilah
1.4.1. Integrasi Konsep
1.4.2. Mediasi
1.4.3. Hakamain
1.4.4. Efektifitas
1.4.5. Kasus Perceraian
Ad.. 1.4.1. Integrasi Konsep
Integrasi menurut Sudarsono adalah suatu perubahan sebagai suatu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[10]
Sedangkan konsep Konsep adalah rencana yang dituangkan dalam kertas, perencanaan, rancangan dan sebagainya. [11]
Dari dua kalimat diatas dapat dismpulkan integrasi konsep yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah suatu rancangan gabungan antara konsep pelaksanaa mediasi dan hakamain dalam penyelesaian kasus perceraian yang digunakan oleh hakim atau mediator atau juru damai lainnya dalam menyelesaikan kasus perceraian.
Ad. 1.4.2 Mediasi
Mediasi adalah salah satu kata yang berawal dari “ Media” yang berarti adalah 1. Alat. 2. Sarana Komunikasi seperti koran, majalah, radio, televise, film, poster dan spaduk. Namun apabila di tambah degang kata “ si” maka artinya berorientasi kepada tindakan nyata yang langsung dilakukan oleh seseorang sebagai pihak luar atau ketiga yang disebut dengan mediator.[12] Sedangkan mediasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah” hal yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah seperti dalam proses penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan, penengahan, proses munculnya ide-ide ransangan secara tidak langsung melalui ide-ide lanjutan yang saling berhubungan, yang mungkin dalam kesadaran yang jelas.[13]   
Selain itu menurut Abdul Manan dalam bukunya Mediasi adalah upaya penyelesaikan sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikaf netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilisator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat  untuk mencapai mufakat.[14]
Ad.1.4. 3. Hakamain
Kata dasar hakamain adalah “Hakam” artinya orang yang berhak mewakili urusan seseorang.[15] Sedangkan hakamain menurut Slamet Abidin adalah orang yang diutus dari dua belah pihak suami atau isteri yang ditetapkan oleh majelis hakim dalam suatu sengketa keluarga atau dalam kasus perceraian untuk memfasilitasi atau menjadi penengah diantara para pihak yang bersengketa.
            Ada termenologi hakamain yang senada dengan pengertian di atas yang di rasa perlu untuk di tulis dalam skripsi ini yaitu mbahwa hakamain artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri untuk mencari solusi atas terjadinya perselisihan antara suami isteri , tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara suami istri tersebut.
Ad. 1.4. 4. Efektifitas
Dalam kamus , Kamus Ilmiah Populer disebutkan bahwa efektifitas adalah ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan.[16] Kata dasar efektifitas adalah efektif yang berarti efeknya, akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab, dapat membawa hasil, berhasil tentang usaha, tindakan.[17]
Jadi Efektifitas yang dimaksud dalam skripsi ini adalah suatu penerapan hukum mediasi dan hakamain dalam kasus perceraian yang bisa mempengaruhi para-para pihak yang berperkara hingga akhirnya mereka berdamai atau mengakhiri sengketa dengan cara mediasi dan hakamain atau bisa juga dikatakan tingkat keberhasilan hukum mediasi dan hakamain baik secara materil ataupun secara formil yang dilaksanakan oleh hakim, mediator atau wali para pihak yang berperkara.[18]
Ad.1.4.5. Kasus Perceraian
Kasus adalah masalah, peristiwa ataun kejadian (biasanya tentang pelanggaran hukum)[19]
Cerai adalah putus ikatan hubungan rumah tangga (suami istri: lepas, pisah, dan sebagainya.[20]
Kasus adalah soal, perkara, keadaan kebenarnya suatu urusan atau perkara, keadaan atau kondisi kasus yang berhubungan dengan seseorang atau satu hal. Baik yang bersifat perkara perdata atau pidana atau kasus lainnya.[21]
            Sedangkan Perceraian adalah suatu kata yang berasal dari kata “ Cerai” yaitu pisah, terhambat, putus, runtuh, dan sebagainya. Ketiaka terjadi perceraian, maka kehidupan isteri atau suami tidak cocok lagi atau tidak bisa hidup bersama yang disebabkan oleh suatu faktor yang melatar belakangi terjadinya masalah tersebut.
1.6.  Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesui dengan permasalahan yang akan dibahas. Dalam pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan metode deskriptif komparatif dengan mengadakan perbandingan aturan hukum positif dan hukum Islam yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan study pustaka (library reaserch) yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku, kitab-kitab, jurnal, karya ilmiah yang berkaitan dengan topik pembahasan serta bahan pendukung lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah yang akan dibahas kemudian dikategorikan sesuai dengan data yang diperlukan untuk menuntaskan karya ilmiah ini sehingga mendapatkan  hasil yang valid dan sesuai apa adanya.
Dalam penyusunan dan penulisan berpedoman kepada buku pedoman penulisan karya ilmiah mahasiswa dan pedoman transliterasi Arab latin yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2001. Dan adapun kutipan yang penulis ambil dari Al-Qur’an adalah Departemen Agama RI Kitab Suci Al-Qur’an.Yayasan Penyelenggara Peterjemah Al-Qur’an. Jakarta, 1981/1982.
Adapun data-data primer sebagai bahan pendukung dan pelengkap karya tulis ilmiah ini antara lain “ Mediasi dalam perspektif Hukum Syari’ah , Hukum Adat, dan Hukum Nasional, karangan Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA “Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Per Undang-Undangan Hukum Adat Hukum Agama, karya Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, “Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan. Undang-undang Nomor.1 Tahun1974”, karangan Prof.Dr.Hazairin “Peradilan Agama di Indonesia, Dilingkungan Peradilan Agama, karangan Drs. Cik Hasan Bisri, MS “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Karangan Drs.M. Fauzan, SH,MM. Serta sumber-sumber lain yang mendukung ke ilmiahan penulisan skripsi ini.
1.6.  Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan karya ilmiah ini, maka pembahasan ini penulis membagi dalam empat  bab, yang meliputi
1.5.BAB SATU Pendahuluan.
1.6.BAB DUA Pembahasan
1.7.BAB TIGA Analisa Perbandingan hukum Positif dan hukum Islam
1.8.BAB EMPAT Penutup
Kemudian tiap-tiap bab terdiri beberapa sub yang dibahas dalam bab tersebut
Bab pertama : Merupakan bab pendahuluan yang membahas tentang, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian Pustaka, Metode Penelitian , dan Sistematika Pembahasan
Bab kedua : Membahas tentang, Konsep Mediasi Dalam Hukum Positif, Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi, Bentuk-Bentuk Mediasi Dalam Kasus Perceraian, Tolak Ukur Keberhasilan Mediasi Dalam Kasus Perceraian, Konsep Hakamain Dalam Hukum Islam, Pengertian Dan Dasar Hukum Hakamain, Bentuk-Bentuk Hakamain Dalam Kasus Perceraian, dan Tolak Ukur Keberhasilan Hakamaian Dalam Kasus Perceraian.
Bab ketiga : Membahas tentang Peran Hakim Dan Mediator Dalam Penyelesain Kasus Perceraian, Kelebihan Dan Kekurangan Mediasi Dan Hakamain Dalam  Penyelesaian Kasus Percerain, Efektifitas Penerapan Mediasi Dan Hakamain Dalam Kasus Perceraian, dan Perpaduan Antara Konsep Mediasi Dan Hakamain Dalam Kasus Perceraian.
Bab keempat : Merupakan akhir dari semua pembahasan yang meliputi kesimpulan dan saran.















[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.1.

[2] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pustaka Karini, Jakarta, 1997, hal. 270.

[3] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: kencana 2009). Hlm. 2004

[4] Ibid. Hlm. 187

[5] Ibid. Hlm. 187

[6] Ibid. Hlm. 72

[7] Ibid. Hlm. 24

[8] Petunjuk Teknis Pelaksanaan  Mediasi Mahkamah Syari’ah Dalam Wilayah Hukum Mahkamah Syari’ah Aceh, Tahun 2010

[9] Himpunan Statistik Perkara Peradilan Agama, Tahun 2007, Ditjen Badilag MA-RI, 2007



[10] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2005), hlm. 141

[11] Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia ,Hlm. 323

[12] Tim penyusun, Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke tiga, 1999), hlm. 128

[13] Tim Pusataka Phoenik,, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Pheonik, 2007), hlm. 575


[14] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 177

[15]   Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 156.

[16] Ibid., hlm. 128.


[17] Desi Anwar, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Surabaya: Amelia, 2002), hlm. 108.

[18] Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 89.

[19] Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,  2006), hlm. 292. 

[20] Ibid., hlm. 121.

[21] Tim Penyusun, Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka edisi ke tiga, 1999), hal. 395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar